6 Cara Membangun Tarbiyah dalam kehidupan


يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَلْتَنْظُرْ نَفْسٌ مَا قَدَّمَتْ لِغَدٍ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا تَعْمَلُونَ

“Hai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kepada Allah dan hendaklah setiap jiwa (orang) memperhatikan apa yang diperbuatnya untuk hari esok (akhirat), dan bertaqwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan” (Al Hasyr : 18)

1. Mu’ahadah

Mu’ahadah yakni mengingat dan mengukuhkan kembali perjanjian antara kita dengan Allah SWT ketika berada di alam ruh. Di sanalah tempat perjanjian pertama sebelum kita menjadi janin yang berada di dalam rahim ibu dan kemudiaannya ditiupkan ruh. Di dalam Al-Quran ada merekodkan perjanjian tersebut bahawa kita sudah pun diminta untuk memberikan kesaksian oleh Allah, “Bukankah Aku ini Rabbmu?” Mereka menjawab: “Benar (Engkau Rabb kami), kami menjadi saksi”.(QS. 7:172)

Dengan bermu’ahadah, kita akan berusaha menjaga agar sikap dan tindak tanduk kita agar tidak keluar dari kerangka perjanjian dan kesaksian kita. Dan kita hendaklah selalu mengingati bahawa kita tidak hanya lahir dalam keadaan yang suci (HR. Bukhari-Muslim) melainkan sudah memiliki tanggungjawab pada Al-haq dengan syahadah di alam ruh tersebut sehingga tentu saja kita tidak boleh mengubahnya (Ar-Rum :30).

2. Muraqabah
Setelah bermu’ahadah, seterusnya kita bermuraqabah. Jadi kita akan menyedari bahawa ada yang selalu me'muraqabah'i diri kita apakah kita telah melanggari janji dan kesaksian tersebut atau tidak.

Muraqabah ertinya merasa selalu diawasi oleh Allah SWT sehingga dengan kesedaran ini mendorong manusia sentiasa rajin melaksanakan perintah dan menjauhi larangan-Nya.
Sesungguhnya manusia hakikinya selalu berhasrat dan ingin kepada kebaikan dan menjunjung nilai kejujuran dan keadilan, meskipun tidak ada orang yang melihatnya.

Berhati-hati adalah suatu bentuk kesedaran diri. Kesedaran ini akan semakin terpelihara dalam diri seseorang hamba jika dia meyakini bahawa Allah SWT sentiasa melihat dirinya.

Syeikh Ahmad bin Muhammad Ibnu Al Husain Al Jurairy mengatakan, « “Jalan kebahagiaan itu dibangun di atas dua bahagian. Pertama, hendaknya engkau memaksa jiwamu muraqabah (merasa diawasi) oleh Allah SWT. Kedua, hendaknya ilmu yang engkau miliki terpamer di dalam perilaku lahiriahmu sehari-hari.” »

Syeikh Abu Utsman Al Maghriby mengatakan, « “Abu Hafs mengatakan kepadaku, ‘manakala engkau duduk mengajar orang banyak jadilah seorang penasihat kepada hati dan jiwamu sendiri dan jangan biarkan dirimu tertipu oleh ramainya orang berkumpul di sekelilingmu, sebab mungkin mereka hanya melihat wujud lahiriahmu, sedangkan Allah SWT memperhatikan wujud batinmu.” »

Dalam setiap keadaan seorang hamba tidak akan pernah terlepas dari ujian yang harus disikapinya dengan kesabaran, serta nikmat yang harus disyukuri. Muraqabah adalah tidak berlepas diri dari kewajiban yang difardhukan Allah SWT yang mesti dilaksanakan, dan larangan yang wajib dihindari.

Muraqabah dapat membentuk mental dan keperibadian seseorang sehingga ia menjadi manusia yang jujur.


3. Muhasabah
Muhasabah adalah usaha untuk menilai dan menghitung amal soleh yang kita lakukan dan kesalahan-kesalahan atau maksiat yang kita kerjakan.

Muhasabah bererti introspeksi diri, menghitung diri dengan amal yang telah dilakukan. Manusia yang beruntung adalah manusia yang tahu diri, dan selalu mempersiapkan diri untuk kehidupan kelak yang abadi di yaumul akhir.

Dengan melakasanakan Muhasabah, seorang hamba akan selalu menggunakan waktu dan jadual hidupnya dengan sebaik-baiknya, dengan penuh perhitungan baik amal ibadah mahupun amal soleh berkaitan dengan kehidupan bermasyarakat. Allah SWT memerintahkan hamba untuk selalu mengintrospeksi dirinya dengan meningkatkan ketaqwaannya kepada Allah SWT.

Diriwayatkan bahwa pada suatu ketika Saidina Ali bin Abi Thalib r.a. melaksanakan solat subuh. Selepas selesai salam, dia menoleh ke sebelah kanannya dengan sedih hati. Dia merenung di tempat duduknya hingga terbit matahari, dan berkata ;

« “Demi Allah, aku telah melihat para sahabat (Nabi) Muhammad SAW. Dan sekarang aku tidak melihat sesuatu yang menyerupai mereka sama sekali. Mereka dahulu berdebu dan pucat lesi, mereka melewatkan malam hari dengan sujud dan berdiri kerana Allah, mereka membaca kitab Allah dengan bergantian (mengganti-ganti tempat) pijakan kaki dan jidat mereka apabila menyebut Allah, mereka bergetar seperti pohon bergetar diterpa angin, mata mereka mengucurkan air mata membasahi pakaian mereka dan orang-orang sekarang seakan-akan lalai (bila dibandingkan dengan mereka).” »

4. Mu’aqabah
Selain mengingati perjanjian (mu’ahadah), menyedari akan pengawasan (muraqabah) dan sibuk menganalisisa diri, kita seharusnya meneladani para sahabat dan salafus-soleh dalam meng’iqab (menghukum/menjatuhi saksi atas diri mereka sendiri).

Bila Umar r.a terkenal dengan ucapan: “Hisablah dirimu sebelum kelak engkau dihisab”, maka tak ada salahnya kita menganalogikan mu’aqabah dengan ucapan tersebut yakni “Iqablah dirimu sebelum kelak engkau diiqab”. Umar Ibnul Khathab pernah terlalaikan dari menunaikan shalat zuhur berjamaah di masjid karena sibuk mengawasi kebunnya. Lalu karena ia merasa ketertambatan hatinya kepada kebun yang melalaikannya dari bersegera mengingat Allah, maka ia pun cepat-cepat menghibahkan kebun beserta isinya tersebut untuk keperluan fakir miskin.

Begitu juga yang dilakukan Abu Thalhah ketika beliau terlupakan berapa jumlah rakaatnya saat solat kerana melihat burung terbang. Kemudian, dia pun segera menghibahkan kebunnya beserta seluruh isinya, subhanallah.

5. Mujahadah
Mujahadah adalah usaha keras untuk bersungguh-sungguh melaksanakan ibadah kepada Allah, menjauhi segala yang dilarang Allah dan mengerjakan apa saja yang diperintahkan-Nya. Kelalaian sahabat Nabi SAW yakni Ka’ab bin Malik sehingga tertinggal rombongan saat perang Tabuk adalah kerana dia kurang bermujahadah dalam mempersiapkan kuda perang dan sebagainya. Ka’ab bin Malik mengakui dengan jujur kelalaian dan kurangnya mujahadah pada dirinya.
Ternyata Kaab harus membayar sangat mahal berupa pengasingan/pemulauan selama lebih kurang 50 hari lamanya sebelum turunnya ayat Allah yang memberikan pengampunan padanya.

Rasulullah Muhammad SAW terkenal dengan mujahadahnya yang luar biasa dalam ibadah seperti dalam solat tahajjudnya. Kaki beliau sampai bengkak kerana terlalu lama berdiri. Namun ketika isteri beliau Ummul Mukminin Aisyah r.a bertanya, “Kenapa engkau menyiksa dirimu seperti itu, bukankah sudah diampuni, seluruh dosamu yang lalu dan yang akan datang”. Beliau menjawab. “Salahkah aku bila menjadi ‘abdan syakuran?”.

6. Mutaba’ah
Terakhir kita perlu memantau, mengawal dan mengevaluasi sejauh mana proses-proses tersebut seperti mu’ahadah dan seterusnya berjalan dengan baik.

Comments

Popular posts from this blog

Lafaz musytarak dalam usul fiqh

Ibrah Peristiwa Nuzul Al-Quran

Fahami apa itu ikhtilat